Ridha secara bahasa menerima dengan suka hati,
secara istilah diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang
diberikan oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam
secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari
perbuatan buruk(maksiyat), baik lahir ataupun bathin.
Kata ridha berasal dari bahasa Arab yang makna harfiahnya
mengandung pengertian senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta
menyetujui secara penuh , sedang lawan katanya adalah benci atau tidak senang.
Kata ridha ini lazim dihubungkan dengan eksistensi Tuhan dan manusia, seperti
Allah ridha kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sedangkan
dengan manusia seperti seorang ibu ridha anaknya merantau untuk menuntut ilmu ,
ridha erat kaitannya dengan sikap dan pemahaman manusia atas karunia dan nikmat Allah.
Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang masih berhubungan
dengan sikap kepasrahan seseorang di hadapan kekasih-Nya. Sikap ini merupakan
wujud dari rasa cinta pada Allah dengan menerima apa saja
yang telah dikehendaki oleh-Nya tanpa ada paksaan dalam menjalaninya. Dengan
kata lain, ridha lebih memfokuskan perhatian yang ditujukan kepada upaya
mengembangkan emosi ridha dalam hati calon sufi kepada Tuhan. Maka janganlah kita
berharap memperoleh ridha Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh
dengan subur emosi ridha kepada-Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada
tidaknya, atau besar kecilnya ridha Tuhan pada seseorang tergantung pada ada
tidaknya atau besar kecilnya ridha hatinya kepada Tuhan.
Ridha kepada Tuhan, menurut para sufi; mengandung makna yang
luas, diantaranya: Tidak menentang pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya
dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal
di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari
Tuhan dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum
turunnya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan
perasaan senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.
Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan. Berbeda dengan orang-orang yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka selalu ridha apabila melakukan perbuatan yang Allah haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang apabila meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka perbuat, bermakna merasa puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan selalu mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu ia lakukan karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya syaitan telah menjerat dirinya dalam kubangan dosa. Orang-orang yang seperti inilah dengan indahnya Allah telah menjelaskan dalam surat At-Taubah ayat 96:
Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan. Berbeda dengan orang-orang yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka selalu ridha apabila melakukan perbuatan yang Allah haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang apabila meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka perbuat, bermakna merasa puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan selalu mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu ia lakukan karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya syaitan telah menjerat dirinya dalam kubangan dosa. Orang-orang yang seperti inilah dengan indahnya Allah telah menjelaskan dalam surat At-Taubah ayat 96:
يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِيْنَ
“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada
mereka, tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah
tidak ridha kepada orang-orang yang berbuat fasik.”
Orang-orang inilah yang selalu bersepakat dalam berbuat
kemungkaran, ridha dalam melakukan maksiyat, dan kelak apabila sampai akhir
hayatnya tidak sempat bertaubat serta minta ampun kepada-Nya, telah Allah
sediakan neraka sebagai pelabuhan terakhir untuknya, dalam pertengahan ayat
yang ke-7 dari surat Az-Zumar di sebutkan:
وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
Artinya: “……….., dan Dia tidak me-ridhai kekafiran bagi
hamba-Nya,………..”
Pemahaman ayat diatas adalah, jikalau seseorang selalu
berpuas hati akan perbuatan yang Allah telah haramkan, namun dalam hatinya
tidak ada keinginan untuk merubah dengan memohon ampunan-Nya, maka yang akan
menjadi tabungan baginya adalah semakin banyak perbuatan buruk yang akan ia
sesali besok di akhirat atas segala segala tingkah laku buruknya sewaktu hidup
di dunia. Dengan kata lain, menghadirkan hati dengan bersikap benci kepada
semua perbuatan yang dapat membawa kepada ke-kufur-an adalah salah satu bentuk
penolakan sebelum segalanya terlambat, inilah salah satu cara supaya kita
terhindar dari semua perkara yang di larang oleh Allah, untuk kemudian kita
suci-kan hati dengan menjalankan perintah dengan penuh keyakinan dan selalu
mengingat-Nya, sehingga sampai kepada peringkat orang-orang yang meminta ampun
kepada rabb-Nya dan menjadi bagian kepada orang-orang pilihan yang benar-benar
telah di ampunkan atas segala kekhilafannya.
Konsep ini sejalan dengan isyarat al-Quran surat Al-Baqarah
ayat 222:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“………..,, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Syekh Maulana Jalaluddin al-Rumi menggambarkan para sufi
yang berhati ridha kepada Allah, antara lain sebagai berikut : “ Aku
perkenalkan para wali, yang mulutnya tidaklah berkomat-kamit dengan lafadz
do’a; mereka adalah orang-orang mulia yang tunduk dengan hati ridha. Mereka
memandang haram permohonan untuk menolak qadha. Mereka
melihat bahwa pada qadha dan qadar Tuhan itu ada rasa nikmat yang khas, dan
memandang kufur upaya memohon kelepasan dari-Nya. Berprasangka baik telah
membuka dan memenuhi hati mereka, sehingga tidaklah mereka memakai pakaian biru
karena sedih. Apa saja yang datang kepada mereka, menggembirakan hati mereka;
ia akan berubah menjadi api kehidupan, kendati ia yang datang itu api; racun yang berada di
kerongkongan mereka, mereka pandang seperti gula; dan batu di jalanan seperti
permata; sama bagi mereka yang baik dengan yang buruk. Semua sikap ini
berkembang dari “husnuzzan”, prasangka baik mereka. Berdo’a bagi mereka suatu
kekufuran, karena bila mereka melakukannya itu berarti mereka mengatakan: Ya
Tuhan kami, rubahlah qadha ini sehingga menjauh dari kami, atau rubahlah qadha
ini sehingga dapat membawa keuntungan untuk kami. Bagaimanakah jadinya dunia
ini, bila ia harus berjalan menurut keinginan manusia, bukan menurut qadha dan
qadar-Nya? Demikianlah antara lain sikap sufi yang hatinya dipenuhi ridha
kepada Tuhan. Walaupun berdo’a di syariatkan oleh agama, mereka karena mencapai
taraf kerohanian yang tinggi, tidak merasa pantas lagi meminta ini dan itu
kepada Allah.
Seperti dalam Hadith Qudsi:
قَالَ اللهُ : مَنْ لَمْ يَرْضَى بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ بِنِعْمَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ بِبَلاَئِيْ فَلْيَخْرُجْ تَحْتَ سَمَائِيْ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ
Artinya:
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.
“Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”.
Dalam surat at-Taubah ayat 32:
يُرِيْدُوْنَ أَنْ يُطْفِئُوْا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُوْرَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan
mulut (ucapan- ucapan mereka), dan Allah tidak menghendaki selain
menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.”
PENGERTIAN RIDHO
1. .
Ridho
A. a.
Pengertian Ridho
B. b.
Jenis-jenis Ridho
Kata Ridho berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata rodiya yang berarti senang,
suka, rela. Ridho merupakan sifat yang terpuji yang harus dimiliki oleh
manusia. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT ridho terhadap
kebaikan hambanya
Ridha
(رِضَى ) menurut kamus al-Munawwir artinya senang, suka, rela. Dan bisa
diartikan Ridho/rela adalah nuansa hati kita dalam merespon semua pemberian-NYA
yang setiap saat selalu ita rasakan. Pengertian ridha juga ialah menerima
dengan senang segala apa yang diberikan oleh Allah s.w.t. baik berupa peraturan
( hukum ) atau pun qada’ atau sesuatu ketentuan dari Allah s.w.t
Allah
swt berfirman
Artinya:”Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari
yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga
yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah
keberuntungan yang paling besar”.(QS. Al-Maidah:119)
Jadi
ridho adalah perilaku terpuji menerima dengan senang apa yang telah diberikan
Allah kepadanya, berupa ketentuan yang diberikan kepada manusia.
Dalam
kehidupan seserorang ada beberapa hal yang harus menampilkan sikap ridha,
minimal empat macam berikut ini:
1. 1.
Ridha terhadap perintah dan larangan Allah
Artinya
ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha
terhadap semua nilai dan syari’ah Islam.
1. 2.
Ridha terhadap taqdir Allah.
Ada
dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak
diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan,
sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh
seorang muslim.
Perbedaan
antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan
mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera
berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima
taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab
didalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (Husnuzan) terhadap sang Khaliq
bagi orang yang ridha ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin dekat
kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada Allah.
1. 3.
Ridha terhadap perintah orang tua.
Ridha
terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada
Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua,
sebagaiman perintah Allah dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14. Bahkan
Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan
murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang
tua dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah,
mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun
beliau ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia
tidak menghiraukan panggilan ibunya.
1. 4.
Ridha terhadap peraturan dan undang-undang Negara
Mentaati
peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah
satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin
keteraturan dan ketertiban sosial. sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam
Q.S. an-Nisa:59. Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti
ulama dan umara (Ulama dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya
sedangkan umara dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang
negara adalah ridha terhadap peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian,
berarti membantu diri sendiri, orang tua, guru dan sekolah dalam mencapai
tujuan pendidikan. Dengan demikian mempersiapkan diri menjadi kader bangsa yang
tangguh.
Dalil tentang Ridho
yang artinya:”Jikalau mereka
sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada
mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian
dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi
mereka).(QS.
At-Taubah:59)
Contoh Perilaku Ridho
Δ
Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang salah
satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta
memuji Allah swt. Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar,
sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika
taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.
Begitu
tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di
akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha
kepada Allah swt. dalam situasi apapun.
Δ
Dalam riwayat dikisahkan sebagai berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi
Thalib r.a. melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa
engkau tampak bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih
hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali
terdiam haru, kemudian berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir
Allah swt. maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya,
dan barang siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku
atasnya, dan terhapus amalnya”.
Keutamaan Ridho Kepada Allah, Rasul dan Agama Islam
Dari
‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu,
bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)
“Akan
merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya
dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”[1].
Hadits
yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala,
Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan
sempurnanya keimanan seseorang[2].
Imam
an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits
ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala,
dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah
kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang
memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya
sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara
nyata)”[3].
-
Arti “ridha kepada sesuatu”
adalah merasa
cukup dan puas dengannya, serta tidak menginginkan selainnya”[4].
-
Arti “merasakan kelezatan/kemanisan
iman” adalah merasakan kenikmatan ketika mengerjakan ibadah dan
ketaatan kepada Allah Ta’ala, bersabar dalam menghadapi kesulitan dalam
(mencari) ridha Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
mengutamakan semua itu di atas balasan duniawi, disertai dengan kecintaan
kepada Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan (segala) perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya[5].
-
Makna “ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah
dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang
diberikan dan dicegah-Nya. Inilah syarat untuk mencapai tingkatan ridha
kepada-Nya sebagai Rabb secara utuh dan sepenuhnya[6].
-
Makna “ridha kepada Islam sebagai agama” adalah merasa cukup dengan mengamalkan
syariat Islam dan tidak akan berpaling kapada selain Islam. Demikian pula
“ridha kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul”
artinya hanya mencukupkan diri dengan mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah, serta tidak menginginkan selain petunjuk dan sunnah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam [7].
-
Sifat yang mulia inilah dimiliki oleh para sahabat Rasulullah, generasi terbaik
umat ini, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian
karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada
Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam firman-Nya,
{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ
وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ
وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}
“Tetapi Allah menjadikan kamu
sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu
indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan
perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang
yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).
Juga
yang disebutkan dalam hadits shahih: “Memang
demikian (keadaan) iman ketika kemanisan/kelezatan iman itu telah masuk dan
menyatu ke dalam hati manusia (para sahabat radhiyallahu ‘anhum)”[8].
Artikel www.muslim.or.id
Sejak
dulu, sampai sekarang, aku masih berusaha memahami makna ikhlas. Ikhlas yang sesungguhnya. Ikhlas yang membawa bahagia. Ikhlas yang membawa ketenangan.
Mengapa
harus memahami makna
ikhlas?
Aku
merasa butuh memahami makna ikhlas karena aku yakin bahwa itu adalah
jalan terindah menuju kebahagiaan.
Kesannya mengawang-ngawang banget ya
kalimatku di atas? *wink* Tapi, ya memang begitu adanya. Gimana dong?
Sebagai
permulaan, aku mencari makna kata ikhlas di KBBI >> ikh·las a bersih hati; tulus hati;meng·ikh·las·kan v memberikan atau menyerahkan dng
tulus hati; merelakan; ke·ikh·las·an nketulusan hati; kejujuran; kerelaan.
Definisi Ikhlas dalam bahasa Indonesia ternyata berbeda dengan dalam bahasa
asalnya, bahasa Arab.
Ikhlas
berasal dari kata akhlasha yang merupakan bentuk kata kerja
lampau transitif yang diambil dari kata kerja intransitif khalasha (خَلصَ) dengan menambahkan satu huruf ‘alif
(أ).
Bentuk mudhâri‘ (saat ini) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu (يُخْلِصُ)
dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash (إِخْلاص). Kata tersebut berarti, murni, bersih, jernih, tanpa
campuran. Ikhlas adalah melakukan amal
perbuatan syariat yang ditujukan hanya kepada Allah secara murni atau tidak
mengharapkan imbalan dari orang lain.
Terkadang
ridho disama artikan dengan ikhlas. Namun sebenarnya ridho dan
ikhlas adalah dua hal yang berbeda. Ridho (رِضً) berarti suka, rela, senang, yang
berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah
mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka
maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah
kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.
Tapi, yang mana pun itu, aku ingin
memahami keduanya. Karena, dalam hidup, terkadang kita menemukan titik di mana
kita merasa berat menjalaninya. Titik di mana kita merasa hidup tidak adil.
Titik di mana kita hanya bisa merasakan duka.
Dan,
ketika semua itu datang, yang ingin kumiliki adalah ikhlas. Dengan keikhlasan, insya Allah semua tidak terasa
berat, tidak ada yang tidak adil, dan aku tetap bisa merasakan suka cita meski
sedang dirundung duka. Seperti yang dikatakan oleh Habib
Riziq Shahab yang disarikan oleh Usman Hasan, ” Ikhlas menyebabkan
kita tidak mudah berputus asa.”
Ikhlas dan ridho bahwa semua adalah
ketentuan Allah. Dan, karena tujuan akhir kehidupan sesungguhnya adalah
ridho-Nya. Maka sebagai manusia, kita pun ridho atas segala yang ditetapkan
oleh-Nya atas diri kita.
Tapi,
apa daya, aku masih dalam proses mempelajari makna ikhlas dan
ridho. Terkadang, Alhamdulillah, aku
dapat merasakan sedikit ikhlas dan ridho itu. Tapi, ada kalanya, tidak. Jadi, aku masih harus banyak
belajar.
Aku
teringat salah satu episode dalam serial televisi “Kiamat Sudah Dekat.” Ketika
peran yang dimainkan oleh Deddy Mizwar meminta peran yang dimainkan oleh Andre
Taulany untuk mempelajari makna ikhlas sebagai syarat untuk dapat
mempersunting anaknya — yang diperankan oleh Zaskia Adya Mecca. Dan, akhirnya,
Andre Taulany merelakan Zaskia Adya Mecca yang sangat dicintainya untuk menikah
dengan pria pilihan Deddy Mizwar. Dan, saat itulah Deddy Mizwar justru melihat bahwa
Andre Taulany sudah memahami makna ikhlas.
Seperti kata seorang sahabat dengan
siapa aku sering berdiskusi tentang kehidupan dan bagaimana bisa ikhlas
menjalaninya, “Ikhlas memang mdh diucap, disampaikan, diangankan, dilamunkan,
diharapkan. Tapi perlu perjuangan dlm eksekusinya dlm kehidupan .”
Hm…semoga
kita semua mampu memahami dan menghayati makna ikhlas dan ridho. Bukan hanya demi kebahagiaan kita
kelak di akhirat, namun juga demi kebahagiaan kita di dunia. Amin.
1)
Sifat ridha adalah sifat makrifah dan mahabbah kepada Allah s.w.t.
2) Pengertian ridha ialah menerima dengan senang segala apa yang diberikan oleh Allah s.w.t. baik berupa peraturan ( hukum ) atau pun qada’ atau sesuatu ketentuan dari Allah s.w.t.
3) Ridha terhadap Allah s.w.t terbagi menjadi dua :
* Ridha menerima peraturan ( hukum ) Allah s.w.t. yang dibebankan kepada manusia.
* Ridha menerima ketentuan Allah s.w.t. tentang nasib yang mengenai diri.
Ridha Menerima hukum Allah s.w.t. :
Ridha menerima hukum-hukum Allah s.w.t. adalah merupakan manifestasi dari kesempurnaan iman, kemuliaan taqwa dan kepatuhan kepada Allah s.w.t. karena menerima peraturan-peraturan itu dengan segala senang hati dan tidak merasa terpaksa atau dipaksa.
Merasa tunduk dan patuh dengan segala kelapangan dada bahkan dengan gembira dan senang menerima syari’at yang digariskan oleh Allah s.w.t. dan Rasulnya adalah memancar dari mahabbah karena cinta kepada Allah s.w.t. dan inilah tanda keimanan yang murni serta tulus ikhlas kepadaNya.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Tetapi tidak ! Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga mereka menjadikanmu ( Muhammad ) hakim dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa sempit dalam hati mereka tentang apa yang engkau putuskan serta mereka menyerah dengan bersungguh – sungguh “. ( Surah An-Nisaa’ : Ayat 65 )
Dan firman Allah s.w.t yang bermaksud :
” Dan alangkah baiknya jika mereka ridha dengan apa yang Allah dan Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ‘ Cukuplah Allah bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami karunianya ,Sesungguhnya pada Allah kami menuju “.
( Surah At Taubah : Ayat 59 )
Pada dasarnya segala perintah-perintah Allah s.w.t. baik yang wajib atau pun yang Sunnah ,hendaklah dikerjakan dengan senang hati dan ridha. Demikian juga dengan larangan-larangan Allah s.w.t. hendaklah dijauhi dengan lapang dada .
Itulah sifat ridha dengan hukum-hukum Allah s.w.t. Ridha itu bertentangan dengan sifat dan sikap orang-orang munafik atau kafir yang benci dan sempit dadanya menerima hukum-hukum Allah s.w.t.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka ( yang munafik ) berkata kepada orang-orang yang dibenci terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah s.w.t. ‘Kami akan tuntut kamu dalam sebagian urusan kamu, Tetapi Allah mengetahui apa yang tidak mereka ketahui ”. ( Surah Muhammad : Ayat 26 )
Andaikata mereka ikut beribadah, bersedekah atau mengerjakan sembahyang maka ibadah itu mereka melakukannya dengan tidak ridha dan bersifat pura-pura. Demikianlah gambaran perbandingan antara hati yang penuh ridha dan yang tidak ridha menerima hukum Allah s.w.t. , yang mana hati yang ridha itu adalah buah daripada kemurnian iman dan yang tidak ridha itu adalah gejala nifaq.
Redha Dengan Qada’ :
Ridha dengan qada’ yaitu merasa menerima ketentuan nasib yang telah ditentukan Allah s.w.t baik berupa nikmat atau pun berupa musibah ( malapetaka ). Di dalam hadisth diungkapkan bahwa di antara orang yang pertama memasuki syurga ialah mereka yang suka memuji Allah s.w.t. yaitu mereka memuji Allah ( bertahmid ) baik dalam keadaan yang susah atau pun dalam keadaan senang.
Diberitakan Rasulullah s.a.w. apabila memperoleh kegembiraan, Baginda berkata :
” Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya menjadi sempurnalah kebaikan “.
Dan apabila kedatangan perkara yang tidak menyenangkan , Baginda mengucapkan :
” Segala puji bagi Allah atas segala perkara “.
Perintah ridha menerima ketentuan nasib daripada Allah s.w.t. dijelaskan di dalam hadisth Baginda yang lain yang bermaksud :
” Dan jika sesuatu kesusahan mengenaimu janganlah engkau berkata : jika aku telah berbuat begini dan begitu, begini dan begitulah jadinya. Melainkan hendaklah kamu katakan : Allah telah mentaqdirkan dan apa yang ia suka , ia perbuat ! ” Karena sesungguhnya perkataan : andaikata… itu memberi peluang pada syaitan ” . (Riwayat Muslim)
Sikap ridha dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah s.w.t. Ketika mendapat kesenangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bersandar kepada dua pengertian :
Pertama : Bertitik tolak dari pengertian bahwa sesungguhnya Allah s.w.t. memastikan terjadinya hal itu sebagai yang layak bagi Dirinya karena bagi Dialah sebaik-baik Pencipta. Dialah Yang Maha Bijaksana atas segala sesuatu.
Kedua : Bersandar kepada pengertian bahawa ketentuan dan pilihan Allah s.w.t. itulah yang paling baik , dibandingkan dengan pilihan dan kehendak peribadi yang berkaitan dengan diri sendiri.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :
” Demi Allah yang jiwaku ditangan-Nya !Tidaklah Allah memutuskan sesuatu ketentuan bagi seorang mukmin melainkan mengandung kebaikan baginya. Dan tiadalah kebaikan itu kecuali bagi mukmin. Jika ia memperoleh kegembiraan dia berterima kasih berarti kebaikan baginya , dan jika ia ditimpa kesulitan dia bersabar berarti kebaikan pula baginya “.
( Riwayat Muslim )
2) Pengertian ridha ialah menerima dengan senang segala apa yang diberikan oleh Allah s.w.t. baik berupa peraturan ( hukum ) atau pun qada’ atau sesuatu ketentuan dari Allah s.w.t.
3) Ridha terhadap Allah s.w.t terbagi menjadi dua :
* Ridha menerima peraturan ( hukum ) Allah s.w.t. yang dibebankan kepada manusia.
* Ridha menerima ketentuan Allah s.w.t. tentang nasib yang mengenai diri.
Ridha Menerima hukum Allah s.w.t. :
Ridha menerima hukum-hukum Allah s.w.t. adalah merupakan manifestasi dari kesempurnaan iman, kemuliaan taqwa dan kepatuhan kepada Allah s.w.t. karena menerima peraturan-peraturan itu dengan segala senang hati dan tidak merasa terpaksa atau dipaksa.
Merasa tunduk dan patuh dengan segala kelapangan dada bahkan dengan gembira dan senang menerima syari’at yang digariskan oleh Allah s.w.t. dan Rasulnya adalah memancar dari mahabbah karena cinta kepada Allah s.w.t. dan inilah tanda keimanan yang murni serta tulus ikhlas kepadaNya.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Tetapi tidak ! Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga mereka menjadikanmu ( Muhammad ) hakim dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa sempit dalam hati mereka tentang apa yang engkau putuskan serta mereka menyerah dengan bersungguh – sungguh “. ( Surah An-Nisaa’ : Ayat 65 )
Dan firman Allah s.w.t yang bermaksud :
” Dan alangkah baiknya jika mereka ridha dengan apa yang Allah dan Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ‘ Cukuplah Allah bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami karunianya ,Sesungguhnya pada Allah kami menuju “.
( Surah At Taubah : Ayat 59 )
Pada dasarnya segala perintah-perintah Allah s.w.t. baik yang wajib atau pun yang Sunnah ,hendaklah dikerjakan dengan senang hati dan ridha. Demikian juga dengan larangan-larangan Allah s.w.t. hendaklah dijauhi dengan lapang dada .
Itulah sifat ridha dengan hukum-hukum Allah s.w.t. Ridha itu bertentangan dengan sifat dan sikap orang-orang munafik atau kafir yang benci dan sempit dadanya menerima hukum-hukum Allah s.w.t.
Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka ( yang munafik ) berkata kepada orang-orang yang dibenci terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah s.w.t. ‘Kami akan tuntut kamu dalam sebagian urusan kamu, Tetapi Allah mengetahui apa yang tidak mereka ketahui ”. ( Surah Muhammad : Ayat 26 )
Andaikata mereka ikut beribadah, bersedekah atau mengerjakan sembahyang maka ibadah itu mereka melakukannya dengan tidak ridha dan bersifat pura-pura. Demikianlah gambaran perbandingan antara hati yang penuh ridha dan yang tidak ridha menerima hukum Allah s.w.t. , yang mana hati yang ridha itu adalah buah daripada kemurnian iman dan yang tidak ridha itu adalah gejala nifaq.
Redha Dengan Qada’ :
Ridha dengan qada’ yaitu merasa menerima ketentuan nasib yang telah ditentukan Allah s.w.t baik berupa nikmat atau pun berupa musibah ( malapetaka ). Di dalam hadisth diungkapkan bahwa di antara orang yang pertama memasuki syurga ialah mereka yang suka memuji Allah s.w.t. yaitu mereka memuji Allah ( bertahmid ) baik dalam keadaan yang susah atau pun dalam keadaan senang.
Diberitakan Rasulullah s.a.w. apabila memperoleh kegembiraan, Baginda berkata :
” Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya menjadi sempurnalah kebaikan “.
Dan apabila kedatangan perkara yang tidak menyenangkan , Baginda mengucapkan :
” Segala puji bagi Allah atas segala perkara “.
Perintah ridha menerima ketentuan nasib daripada Allah s.w.t. dijelaskan di dalam hadisth Baginda yang lain yang bermaksud :
” Dan jika sesuatu kesusahan mengenaimu janganlah engkau berkata : jika aku telah berbuat begini dan begitu, begini dan begitulah jadinya. Melainkan hendaklah kamu katakan : Allah telah mentaqdirkan dan apa yang ia suka , ia perbuat ! ” Karena sesungguhnya perkataan : andaikata… itu memberi peluang pada syaitan ” . (Riwayat Muslim)
Sikap ridha dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah s.w.t. Ketika mendapat kesenangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bersandar kepada dua pengertian :
Pertama : Bertitik tolak dari pengertian bahwa sesungguhnya Allah s.w.t. memastikan terjadinya hal itu sebagai yang layak bagi Dirinya karena bagi Dialah sebaik-baik Pencipta. Dialah Yang Maha Bijaksana atas segala sesuatu.
Kedua : Bersandar kepada pengertian bahawa ketentuan dan pilihan Allah s.w.t. itulah yang paling baik , dibandingkan dengan pilihan dan kehendak peribadi yang berkaitan dengan diri sendiri.
Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :
” Demi Allah yang jiwaku ditangan-Nya !Tidaklah Allah memutuskan sesuatu ketentuan bagi seorang mukmin melainkan mengandung kebaikan baginya. Dan tiadalah kebaikan itu kecuali bagi mukmin. Jika ia memperoleh kegembiraan dia berterima kasih berarti kebaikan baginya , dan jika ia ditimpa kesulitan dia bersabar berarti kebaikan pula baginya “.
( Riwayat Muslim )
Doa Memohon Ridho Di Dalam Hati
Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu
’alaih wa sallammengajarkan sebuah doa sangat
panjang kepada sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu. Lalu Zaid radhiyallahu ’anhu diperintahkan oleh Nabishollallahu ’alaih wa sallamuntuk membacanya setiap hari, bahkan diharuskan kepadanya
untuk menyuruh keluarganya membaca pula. Doa ini sangat panjang, namun ada
bagian sangat penting dari doa tersebut yang berkaitan dengan sikap seorang
beriman menghadapi berbagai realitas dunia, baik yang menyenangkan maupun yang
terasa pahit. Sebab hidup kita di dunia senantiasa diwarnai oleh dinamika yang
berubah-ubah. Kadang kita diberi senang, kadang mengalami derita. Kadang sehat
kadang sakit. Kadang menang kadang kalah. Kadang lapang, kadang sempit. Ada
perjumpaan, ada perpisahan. Ada kelahiran, ada kematian. Itulah dunia. Semua
serba fana, tidak ada yang lestari.
Seorang yang beriman dikagumi
oleh Nabi shollallahu
’alaih wa sallam. Beliau sedemikian kagum akan
karakter mu’min sehingga pernah suatu ketika beliau mengutarakan takjub akan
fenomena orang beriman.
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ
أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ
صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Sesungguhnya
semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh siapapun
selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur.
Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat, maka ia bersabar. Dan
bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318)
Saudaraku, berdasarkan hadits di
atas berarti perjalanan hidup seorang mu’min adalah suatu rentetan penyesuaian
sikap terhadap realitas yang Allah taqdirkan atas dirinya. Bila ia mengalami
suatu hal yang menyenangkan, kemenangan, memperoleh karunia, nikmat, anugerah
atau rezeki, maka pandai-pandailah ia mensyukurinya. Sebaliknya, bila ia
ditimpa mudharat, kekalahan, duka, lara, nestapa atau kehilangan sesuatu atau
seseorang, maka hendaklah ia kuat-kuat menyabarkan dirinya. Jadi inilah hakikat
hidup seorang mu’min. Nah, agar kita memiliki kemampuan untuk senantiasa istiqomah dalam
bersyukur kala senang dan bersabar kala sedih, doa Nabi shollallahu
’alaih wa sallam yang diajarkan kepada sahabat Zaid radhiyallahu ’anhu mungkin dapat membantu kita. Doanya adalah sebabgai
berikut:
“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku)
sesudah keputusanMu, kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang
wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.” (HR Ahmad 20678)
Pertama, kita memohon kepada Allah agar
sikap ridho selalu
menghiasi hati kita. Ridho di sini maksudnya menghadapi segala keputusan Allah
yang telah ditaqdirkan atas diri kita. Biasanya manusia mudah untuk ridho
terhadap taqdir Allah yang menyenangkan. Mana ada orang menyesal ketika Allah
kasih dia rezeki? Tapi jangan salah, saudaraku. Maksud ridho di sini ialah agar
keridhoan itu tampil dalam bentuk pandai bersyukur ketika nikmat menyapa kita.
Sebab tidak sedikit manusia yang ketika memperoleh suatu karunia lalu lupa
mengkaitkan dengan taqdir Allah. Ia lupa untuk selalu menyadari bahwa tidak ada
satupun kenikmatan yang sampai kepada manusia kecuali atas izin Allah. Nikmat
mampir bukan karena kehebatan seseorang. Betapapun hebatnya seseorang, namun
nikmat tidak akan bisa ia peroleh jika Allah tidak izinkan nikmat itu sampai
kepada dirinya. Ia bisa memperoleh nikmat semata-mata karena Allah akhirnya
mengizinkan nikmat itu sampai kepada dirinya.
Orang biasanya sulit ridho bila
menyangkut taqdir Allah yang sifatnya pahit atau tidak menyenangkan. Oleh
karenanya doa di atas juga kita baca saat ditimpa kekalahan, duka, lara,
nestapa, mudharat agar keridhoan itu tampil dalam bentuk kemampuan untuk
bersikap sabar menghadapi apapun yang Allah taqdirkan. Dan jika itu menyangkut
suatu hal yang menyedihkan alias musibah jangan kita jadikan Allah sebagai –maaf- ”kambing hitam”nya. Salah satu bentuk sabar ialah
seseorang sanggup mengambil pelajaran dari setiap musibah yang menimpa dirinya.
Ia mendahulukan untuk menyalahkan dirinya sendiri daripada mencari fihak lain
sebagai sebab musibah tersebut. Lalu ia selanjutnya mengkoreksi diri agar tidak
jatuh kepada kekeliruan langkah seperti yang ia telah lakukan sebelumnya.
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ
اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
”Apa saja ni`mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS An-Nisa ayat 79)
Kedua, lalu sisa doanya menyangkut
perkara di luar dunia. Coba perhatikan:
أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ الرِّضَا
بَعْدَ الْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ
الْمَمَاتِ وَلَذَّةَ نَظَرٍ إِلَى وَجْهِكَ وَشَوْقًا إِلَى
لِقَائِكَ
“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku)
sesudah keputusanMu, kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang
wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.” (HR Ahmad 20678)
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengarahkan
Zaid radhiyallahu ’anhu untuk memohon kepada Allah ”…kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajah
Allah dan kerinduan berjumpa dengan Allah.” Mengapa demikian? Karena, saudaraku, Nabi shollallahu
’alaih wa sallam ingin mengingatkan Zaidradhiyallahu ’anhu dan kita semua untuk memandang bahwa apapun yang kita alami
di dunia ini –senang
maupun sedih- pada hakikatnya adalah perkara
kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan mengingat Allah Yang Maha
Besar, mengingat kematian, mengingat perjumpaan dengan Allah. Dan tidak ada
kenikmatan yang lebih utama bagi penghuni surga selain memperoleh kesempatan
memandang wajah Allah…!
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ
الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ
تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا
الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ
النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا
شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ
النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ
“Bila penghuni surga telah masuk surga, maka
Allah berfirman (kepada mereka): ”Apakah kalian ingin sesuatu untuk
Kutambahkan? ” Maka mereka menjawab: ”Bukankah Engkau telah putihkan
wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah masukkan kami ke dalam surga? Dan
selamatkan kami dari api neraka?” Nabi shollallahu ’alaih wa
sallam bersabda:
”Maka disingkaplah Al-Hijab (tabir). Sehingga ahli surga tidak memperoleh
sesuatu yang lebih mereka sukai daripada memandang wajah Rabb mereka Allah’Azza
wa Jalla.” (HR Muslim 266)
Subhanallah…! Penghuni surga memperoleh hak untuk memandang wajah Allah.
Suatu kenikmatan yang mengalahkan segenap kenikmatan surga lainnya. Suatu
kenikmatan yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai ”tambahan” alias bonus bagi
ahli surga.
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى
وَزِيَادَةٌ
”Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada
pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS Yunus ayat 26)
Saudaraku, bagi seorang mu’min yang
sibuk berjuang agar kelak di akhirat berhak memandang wajah Allah, tentulah
segenap pengalaman hidup di dunia menjadi terasa kecil. Jika ia mendapat nikmat
dia tidak akan lupa diri, karena tidak ada apa-apanya dibandingkan nikmat
memandang wajah Allah yang ia idam-idamkan selalu. Jika tertimpa kesulitan ia akan
bersabar dengan meyakini bahwa semoga kesabaran itu akan menyebabkan ia berhak
memandang wajah Allah disamping diselamatkan dari api neraka. Dan tentulah di
antara modal utama untuk berhak memandang wajah Allah ialah ia selalu sibuk
memastikan bahwa apapun yang ia kerjakan di dunia ini adalah semata-mata demi
memperoleh wajah Allah alias ikhlas dalam berbuat apapun. InsyaALlah.-
“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku) sesudah keputusanMu,
kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajahMu dan kerinduan
berjumpa denganMu.”
Doa Dapat Merubah Takdir
Dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih
wa sallam menjelaskan bahwa taqdir yang Allah ta’aala telah tentukan bisa
berubah. Dan faktor yang dapat mengubah taqdir ialah doa seseorang.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ
إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ (الترمذي)
إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ (الترمذي)
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Tidak ada yang
dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang
dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR
Tirmidzi 2065)
Subhanallah…! Betapa luar biasa kedudukan do’a dalam ajaran
Islam. Dengan do’a seseorang bisa berharap bahwa taqdir yang Allah ta’aala
tentukan atas dirinya berubah. Hal ini merupakan sebuah berita gembira bagi
siapapun yang selama ini merasa hidupnya hanya diwarnai penderitaan dari waktu
ke waktu. Ia akan menjadi orang yang optimis. Sebab keadaan hidupnya yang
selama ini dirasakan hanya berisi kesengsaraan dapat berakhir dan berubah. Asal
ia tidak berputus asa dari rahmat Allah ta’aala dan ia mau bersungguh-sungguh
meminta dengan do’a yang tulus kepada Allah ta’aala Yang Maha Berkuasa.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ
أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا
إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا
إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah ta’aala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu,
dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu
tidak dapat ditolong (lagi).” (QS Az-Zumar 53-54)
Demikianlah, hanya orang yang tetap berharap
kepada Allah ta’aala saja yang dapat bertahan menjalani kehidupan di dunia
betapapun pahitnya taqdir yang ia jalani. Ia akan senantiasa menanamkan dalam
dirinya bahwa jika ia memohon kepada Allah ta’aala dalam keadaan apapun, maka
derita dan kesulitan yang ia hadapi sangat mungkin berakhir dan bahkan berubah.
Sebaliknya,
orang yang tidak pernah kenal Allah ta’aala dengan sendirinya akan meninggalkan
kebiasaan berdo’a dan memohon kepada Allah ta’aala. Ia akan terjatuh pada salah
satu dari dua bentuk ekstrimitas. Pertama, ia akan mudah
berputus asa. Atau kedua, ia akan lari
kepada fihak lain untuk menjadi sandarannya demi merubah keadaan. Padahal
begitu ia bersandar kepada sesuatu selain Allah ta’aala –termasuk bersandar
kepada dirinya sendiri- maka pada saat itu pulalah Allah ta’aala akan
mengabaikan orang itu dan membiarkannya berjalan mengikuti situasi dan kondisi
yang tersedia. Sedangkan orang tersebut dinilai sebagai seorang yang
mempersekutukan Allah ta’aala dengan yang lain. Berarti orang tersebut telah
jatuh ke dalam kategori seorang musyrik…!
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ
لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan
Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS Al-Mu’min
60)
Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa seorang
muslim tidak boleh pernah berhenti meminta kepadaNya, karena sikap demikian
merupakan suatu kesombongan yang akan menjebloskannya ke dalam siksa Allah
ta’aala yang pedih. Maka Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدْعُ اللَّهَ غَضِبَ
اللَّهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa tidak berdo’a kepada Allah ta’aala, maka Allah
ta’aala murka kepadaNya.”
(HR Ahmad 9342)
(HR Ahmad 9342)
Saudaraku, janganlah berputus asa dari rahmat
Allah ta’aala. Bila Anda merasa taqdir yang Allah ta’aala tentukan bagi hidup
Anda tidak memuaskan, maka tengadahkanlah kedua tangan dan berdo’alah kepada
Allah ta’aala. Allah ta’aala Maha Mendengar dan Maha Berkuasa untuk mengubah
taqdir Anda. Barangkali di antara do’a yang baik untuk diajukan sebagai bentuk
harapan agar Allah ta’aala mengubah taqdir ialah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي
الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي
فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ
زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Ya Allah, perbaikilah agamaku untukku yang mana ia merupakan penjaga
perkaraku. Perbaikilah duniaku yang di dalamnya terdapat kehidupanku.
Perbaikilah akhiratku untukku yang di dalamnya terdapat tempat kembaliku.
Jadikanlah hidupku sebagai tambahan untukku dalam setiap kebaikan, serta
jadikanlah matiku sebagai istirahat untukku dari segala keburukan.” (HR Muslim
4897) فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ
زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ